Hi, guest | Welcome to Blog Serba Guna | Register | Sign in
Advertise | Contact | About | Live Music | Donation | Sitemap

Kamis, 03 November 2011

KEUTAMAAN BULAN DZULHIJAH

EmailKEUTAMAAN BULAN DZULHIJAH
Oleh Sofyan Munawar
Nama-nama bulan dalam almanak Hijriyah diadopsi dari nama bulan yang telah dikenal dan berlaku di kalangan bangsa Arab sebelum Islam. Orang Arab memberi nama bulan tersebut disesuaikan dengan kondisi alam dan situasi masyarakat pada masa itu. Misalnya bulan DZUL HIJJAH yang jadi pokok bahasan kali ini. Dzul Hijjah, secara etimologis terdiri dari dua kata “Dzu” (ذو ) yang berarti “pemilik” dan “Hijjah” (الحجة ) yang berarti “haji”. Rangkaian dua kata tersebut kemudian bermakna “yang menunaikan haji”. Dinamakan demikian karena pada bulan itu orang-orang Arab pergi ke Baitullah (Makkah) untuk melaksanakan ibadah Haji.
Dzul Hijjah adalah bulan ke dua belas dalam setahun, ia termasuksalah satu dari empat bulan yang suci dan terhormat (harom), sebagaimana ditegaskan dalam hadits yang diceritakan sahabat Abu Bakrah r.a., bahwa Rasulullah saw bersabda,

إنَّ الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ .
“Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Setahun itu ada dua belas bulan diantaranya terdapat empat bulan yang dihormati: tiga bulan berturut-turut; Dzul Qo’dah, Dzul Hijjah, Muharram dan Rajab pilihan suku Mudhar, yang terhimpit antara bulan Jumadi Tsaniah dan Sya’ban (HR. al-Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679)

Hadits tersebut merupakan bayan atau tafsir dari firman Allah Ta’ala: ”Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah menganiaya diri dalam bulan empat itu, dan perangilah musyrikin semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa.” (QS. at-Taubah [9]:36)

Pada bulan Dzul Hijjah ada beberapa hari yang diberi predikat khusus sesuai dengan peristiwa yang terjadi pada hari-hari tersebut. Hari-hari itu adalah adalah:
1. Hari/tanggal 8 Dzul Hijjah disebut hari Tarwiyah (التروية ). Kata Tarwiyah terambil dari kata irtawa-yartawi (ارتوى - يرتوى ) yang berarti minum dengan kenyang atau berbekal air. Disebut demikian  karena pada hari itu, para hujjaj membawa perbekalan air untuk keperluan mereka di Mina. Dalam rangkaian ibadah haji, tanggal 8 Dzul Hijjah adalah hari dimana para hujjaj mengawali pelaksanaan puncak haji dengan pergi ke Mina untuk mabit (menginap) selama satu malam di sana. Teori lain mengatakan bahwa, tarwiyah berasal dari kata ar-rawiyah (الرَّوِيَّةُ ) searti dengan kata tafakkaro, yaitu merenung dan berfikir. Dinamakan demikian karena pada hari itu (tanggal 8 Dzulhijjah), Nabi Ibrahim a.s. berfikir dan merenungkan makna mimpi yang dialaminya. ( Lisanul Arab, Al-Imam al-‘Allamah Ibnu Manzhur,  vol  v)
2. Hari/tanggal 9 Dzul Hijjah disebut hari ‘Arafah (يوم عرفة ). ‘Arafah adalah nama sebuah padang sahara yang berada di sebelah tenggara gunung Jabal Rahmah dan tepatnya berada di perempatan: Tsuyah, Aranah, Numrah, Dzul Mujaz. Bentangan sahara ini seluas 12 km dan mempunyai lebar 6,5 Km. ‘Arafah,  tepat di Km 21 dari arah Mekah. Adapun kenapa hari itu dinamakan ‘Arafah, salah satu jawabannya adalah karena pada hari itu jamaah haji mesti pergi ke Arafah untuk melaksanakan ritual wuquf sebagai puncak haji, sebagaimana sabda Rasulullah saw “al-Hajju ‘arafah”, artinya “puncak haji adalah (wuquf di) ‘Arafah.” (HR. Ibnu Hibban). Maksudnya, seorang yang menunaikan haji tidak sah hajinya walau semua rukunnya dilaksanakan jika ia tidak wuquf di ‘Arafah.
Sedangkan latar belakang kenapa tempat itu dinamakan ‘Arafah, berbagai teori   menjelaskannya. Ibnu Qudamah mengatakan bahwa hal itu ada hubunganya dengan mimpi Nabi Ibrahim a.s. yang diperintahkan untuk menyembelih anaknya. Maka pada pagi harinya beliau “’arafa” alias mengetahui dan  mengenal bahwa mimpinya itu banar-benar datang dari Allah saw sebagai wahyu. (al-Mughni, III:58). Keterangan lain menjelaskan bahwa tempat tersebut dinamakan ‘Arafah berkaitan dengan peristiwa ta’arufnya antara Nabi Adam dan Hawa ditempat itu, sebagaimana dijelaskan Ibnu Abas,
وَتَعَارَفَا بِعَرَفَاتِ فَلِذلِكَ سُمِّيَتْ عَرَفَاتِ
(Dan keduanya ta’aruf di Arafat, karena itu dinamai ‘Arafat). (Lihat, al-Kamil fi at-Tarikh, I:12). Selanjutnya ketarangan Ibnu Abbas itu dijadikan referensi utama oleh para ulama di antaranya Imam Ar-Raghib al-Ashfahani dalam al-Mufradat fi Gharibil Quran (hal. 969). Dari keterangan-keterangan tersebut jelaslah bahwa penamaan ‘Arafah sebagai nama hari maupun nama tempat, sudah digunakan sebelum disyari’atkan ibadah haji. Dan setelah ada syari’at haji maka “diam” (wuquf) di tempat tersebut menjadi salah satu rukun dalam ritual haji bahkan dipandang sebagai jantungnya haji.
3. Hari/tanggal 10 Dzul Hijjah disebut Yaum an-Nahr (يوم النحر ) yang berarti hari disembelihnya hewan qurban. Kata an-Nahr secara harfiyah berati menyembelih onta pada pangkal lehernya. Hal itu dilakukan karena unta sulit disembelih pada bagian ujung lehernya. (Lisanul ‘Arab vol XIV)
4. Hari/tanggal 11,12 dan 13 bulan Dzul Hijjah disebuta Ayyam at-Tasyriq (أَيام التشريق ). Kata tasyriq pada asalnya berarti menjemur daging di terik matahari untuk dibuat dendeng. Maka tiga hari setelah hari Nahr disebut hari-hari tasyrik karena daging kurban diawetkan dengan cara dibuat dendeng dengan dijemur di terik matahari. Dikatakan pula bahwa disebut tasyriq karena hewan qurban tidak disembelih kecuali setelah terbit matahari. Ada juga yang mengatakan bahwa pada hari-hari tersebut masih diperbolehkan menyembelih hewan qurban. (lihat Lisanul ‘Arab vol VII kata syrroqo).

Dzulhijjah Bulan Utama
Sepuluh hari pertama bulan Dzul Hijjah adalah hari-hari yang utama. Keutamaan tersebut berdasarkan katerangan-keterangan berikut ini.
Nash Al-Qur’an.
Allah swt berfirman,
وَ الْفَجْرِ . وَلَيَالٍ عَشْرٍ
“Demi fajar, dan malam yang sepuluh.” (Al-Fajr [89]: 1-2)

Berbeda-beda pendapat ulama tentang maksud “malam yang sepuluh” pada ayat ini. Ada yang memahaminya dalam arti sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, atau sepuluh malam pertama bulan Muharram, dan ada juga yang memahaminya dalam arti sepuluh malam pertama bulan Dzul Hijjah. Dari pendapat-pendapat tersebut yang dipandang paling kuat adalah pendapat ketiga yang mengatakan bahwa “malam yang sepuluh” itu adalah sepuluh malam pertama bulan Dzul Hijjah. Argumentasi yang mendukung pendapat tersebut adalah hadits dari Ibnu ‘Abbas ra., bahwa Rasulullah saw bersabda,

مَا مِنْ أَيَّامٍ العَمَلُ الصَّالِحُ فِيْهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنْ هَذِهِ اْلأَيَّامِ الْعَشْرِ. قَالُوْا : وَلاَ الجْهَادُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ؟ قَالَ: وَلاَ الجْهَادُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ
“Tidak ada hari-hari di mana amalan shalih yang dikerjakan di dalamnya lebih dicintai oleh Allah daripada sepuluh hari ini." Para shahabat bertanya, "Termasuk pula jihad fi sabilillah?" Beliau bersabda, "Ya, termasuk pula jihad fi sabilillah, kecuali seseorang yang keluar dengan jiwa dan hartanya dan tidak kembali darinya sedikit pun.”
(HR. Al-Bukhari, Abu Dawud, At-Tirmidzi).
Allah swt berfirman lagi,
وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللهِ فِى أَيَّامٍ مَعْلُوْمَاتٍ
“Dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan.” (QS. Al Hajj [22]: 28).
Yang dimaksud dengan “pada hari-hari yang telah ditentukan” pada ayat ini adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. (Tafsir Ibnu Katsir).
Nash al-Hadits

Dari Ibnu ‘Umar ra., dia berkata, Rasulullah saw bersabda,

مَا مِنْ أَيَّامٍ أَعْظَمُ عِنْدَ اللهِ سُبْحَانَهُ وَلاَ أَحَبُّ إِلَيْهِ الْعَمَل فِيْهِنَّ مِنْ هَذِهِ اْلأَيَّامِ الْعَشْرِ؛ فَأَكْثِرُوْا فِيْهِ مِنَ التَّهْلِيْلِ وَالتَّكْبِيْرِ وَالتَّحْمِيْدِ

“Tidak ada hari yang lebih agung dan lebih dicintai di sisi Allah subhanahu wa ta’ala jika amalan shalih dikerjakan di dalamnya daripada sepuluh hari ini, maka perbanyaklah tahlil, takbir, dan tahmid pada hari-hari tersebut.” (HR. Ahmad)

Imam ad-Darimi meriwayatkan bahwa  sahabat  Sa’id bin Jubair  r.a. ketika telah memasuki sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, beliau sangat bersungguh-sungguh untuk beribadah sampai-sampai hampir beliau tidak mampu untuk mengerjakannya.

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari berkata: “Dan yang tampak dari sebab diistimewakannya sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah adalah karena waktu tersebut merupakan tempat berkumpulnya (dan ditunaikannya) induk dari berbagai macam ibadah, yaitu shalat, puasa, shadaqah, dan haji. Itu semua tidak terjadi pada waktu yang lain.”
مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ وَإِنَّهُ لَيَدْنُو ثُمَّ يُبَاهِى بِهِمُ الْمَلاَئِكَةَ فَيَقُولُ مَا أَرَادَ هَؤُلاَءِ .
“Tidak satu hari dimana Allah paling banyak membebaskan seseorang dari neraka melebihi hari arafah. Sesungguhnya Dia mendekat, kemudian Dia membangga-banggakan mereka (manusia) di hadapan malaikat. Dia berfirman: Apa yang mereka inginkan?” (HR. Muslim, An Nasa’i, dan Al Hakim)
Dari Ibnu ‘Umar ra., dia berkata, Rasulullah saw bersabda,

مَا مِنْ أَيَّامٍ أَعْظَمُ عِنْدَ اللهِ سُبْحَانَهُ وَلاَ أَحَبُّ إِلَيْهِ الْعَمَل فِيْهِنَّ مِنْ هَذِهِ اْلأَيَّامِ الْعَشْرِ؛ فَأَكْثِرُوْا فِيْهِ مِنَ التَّهْلِيْلِ وَالتَّكْبِيْرِ وَالتَّحْمِيْدِ

“Tidak ada hari yang lebih agung dan lebih dicintai di sisi Allah subhanahu wa ta’ala jika amalan shalih dikerjakan di dalamnya daripada sepuluh hari ini, maka perbanyaklah tahlil, takbir, dan tahmid pada hari-hari tersebut.” (HR. Ahmad)
Amalan-amalan Pada Bulan Dzul Hijjah
1. Shaum Sunnat Pada Hari ‘Arafah
Dari Abu Qatadah ra., Nabi saw bersabda:
صِيَامُ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعَدَهُ
“Shaum hari ‘Arafah itu, aku berharap kepada Allah, agar menghapuskan (dosa) setahun yang lalu dan setahun yang akan datang”.(HR. at-Tirmidzi)
Berdasarkan hadits tersebut jelaslah bahwa : Shaum ‘Arafah itu masyru’ (disyari’atkan), dan hukumnya sunnat. Puasa sunnat ‘Arafah memiliki keutamaan yang sangat besar, yaitu dapat menghapuskan dosa-dosa kecil satu tahun sebelumnya dan satu tahun ke depan. Puasa sunnat ‘Arafah ini disyari’atkan bagi orang yang tidak berhajji. Bagi orang yang sedang melaksanakan ibadah hajji yang pada hari/tanggal tersebut sedang melaksanakan wukuf dilarang melaksanakan puasa ‘Arafah, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Ummu al Fadhl berikut ini,
-عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ أُمِّ الْفَضْلِ بِنْتِ الْحَارِثِ أَنَّ نَاسًا تَمَارَوْا عِنْدَهَا يَوْمَ عَرَفَةَ فِى صِيَامِ رَسُوْلِ اللهِ  صَلَّى اللهُ عَليْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ بَعْضُهُمْ هُوَ صَائِمٌ, وَقَالَ بَعْضُهُمْ لَيْسَ بِصَائِمٍ, فَأَرْسَلْتُ إِلَيْهِ بَقَدَحِ لَبَنٍ وَهُوَ وَاقِفٌ عَلَى بَعِيْرِهِ بِعَرَفَةَ فَشَرِبَهُ . (رواه البخاري ومسلم)
Dari Ibnu Abbas, dari Ummi al-Fadl binti al Harits, bahwasanya orang-orang berselisih pada hari ‘Arafah  - tentang shaum Rasulullah saw – di antara mereka ada yang berkata bahwa beliau tidak shaum, dan sebagian lagi berkata, bahwa beliau shaum. Kemudian aku antarkan kepadanya segelas/semanghkuk susu sedang beliau berada di atas untanya, maka beliau meminumnya”. (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Juga diriwayatkan dari hadits Ibnu Umar ra. bahwa ia pernah ditanya oleh Najih tentang hukum berpuasa pada hari’ Arafah di Arafah? Ia menjawab,

حَجَجْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَصُمْهُ وَمَعَ أبي بَكْرٍ فَلَمْ يَصُمْهُ وَمَعَ عُمَرَ فَلَمْ يَصُمْهُ وَمَعَ عُثْمَانَ فَلَمْ يَصُمْهُ وأنَا لاَ أَصُومُهُ وَلَا آمُرُ بِهِ وَلاَ أَنْهَى عَنْهُ .
"Aku menunaikan ibadah haji bersama Nabi saw. dan beliau tidak berpuasa pada hari itu, aku (haji) bersama Abu Bakar ra. beliau pun tidak berpuasa padanya, aku (haji) bersama Umar dan beliau pun tidak berpuasa padanya, aku (haji) bersama Utsman dan beliau pun tidak berpuasa padanya. Dan akupun tidak berpuasa padanya, dan aku tidak memerintahkannya dan tidak pula melarangnya.”.. (HR. At-Tirmidizi).
Waktu Pelaksanaan Puasa ‘Arafah
Tentang waktu pelaksanaan puasa 'Arafah ini terdapat perselisihan. Ada yang mengatakan bahwa puasa 'Arafah harus dilakukan bertepatan dengan jamaah haji yang sedang wukuf di 'Arafah. Yang lainnya mengatakan dilaksanakan berdasarkan waktu/tanggal masing-masing tempat. Dari kedua pendapat tersebut manakah yang bisa dipegang dan diamalkan? Dua-duanya atau salah satunya?
Untuk pertanyaan tersebut inilah jawabannya. Shaum ‘Arafah dilakukan bertepatan dengan tanaggal 9 Dzul Hijjah. Pada hari itu ada dua macam ibadah yang berbeda yang harus dilakukan oleh kaum muslimin sesuai dengan kondisinya masing-masing. Bagi yang sedang haji, pada tangga 9 Dzul Hijjah itu harus wuquf di ‘Arafah, dan bagi yang tidak melaksanakan hajji dianjurkan berpuasa. Shaum ini bukan shaum wuquf, karena itu tidak tepat bila disebut shaum wuquf. Tapi shaum yaumi ‘Arafah, yaitu shaum pada hari kesembilan (tgl. 9) bulan Dzuul Hijjah. Tidak ada shaum ‘Arafah kecuali pada tanggal 9 Dzul Hijjah. Sebagaimana tidak ada wukuf melainkan pada tgl. 9 Dzul hijjah. Shaum ‘Arafah itu dilakukan bukan karena adanya orang yang sedang wuquf, atau bukan karena jama’ah hajji sedang wuquf. Tapi karena kita tidak sedang hajji. Sehingga ada atau tidak ada yang wuquf di ‘Arafah, pada hari/tanggal itu bagi yang tidak hajji tetap dianjurkan shaum ‘Arafah.
Sebab adanya shaum ‘Arafah itu, karena adanya atau datangnya tanggal 9 Dzul Hijjah, bukan disebabkan adanya orang yang wuquf. Sebagaimana orang yang harus wukuf bukan karena adanya orang yang berpuasa pada hari itu. Wukuf dan shaum ‘Arafah adalah dua ibadah yang berbeda, yang dilakukan oleh orang yang berbeda, tapi harus  pada hari yang sama, yaitu hari kesembilan bulan Dzul Hijjah, atau tanggal 9 Dzul Hijjah yang, disebut hari ‘Arafah.
Tanggal atau hari kesembilan di setiap negara pasti sama, sebab semuanya menggunakan perhitungan peredaran bulan. Hanya saja jatuhnya tanggal 9 tersebut  bisa terjadi pada hari yang berbeda, sebab kemunculan hilal di setiap tempat tertentu tidak pada satu waktu yang sama. Hal ini terjadi karena bumi ini bulat. Oleh sebab itu setiap muslim di penjuru dunia melaksanakan shaum serempak pada tanggal/hari ke sembilan Dzul Hijjah, yang harinya bisa berbeda, tergantung di belahan bumi mana mereka berada.
Bagaimana dengan Pasa Sunnat Hari Tarwiyah (Tgl. 8 Dzul Hijjah)?
Amalan shaum pada tanggal 8 Dzul Hijjah tersebut didasakan pada riwayat berikut ini :
صَوْمُ يَوْمِ التَّرْوِيَةِ كَفَّارَةُ سَنَةٍ, وَصَوْمُ يَوْمِ عَرَفَةَ كَفَّارَةُ سَنَتَيْنِ
“Shaum hari Tarwiyah (tgl. 8 Dzul Hijjah) menghapus (dosa) setahun. Dan shaum hari ‘Arafah menghapus (dosa) dua tahun”. (HR. Ad Dailami dari Ibnu Abbas).
Hadits ini dha’if. Pada sanad hadits tersebut terdapat rawi-rawi  bernama : Pertama, Muhammad bin Saib al Kalbi. Dia itu Kadzdzab (seorang pendusta). Dia pernah mengatakan kepada Sufyan ats- Tsauri : “Apa-apa hadits yang engkau dengar dari aku dari jalan Abi Shalih dari Ibnu Abbas, maka hadits itu dusta”. Sedangkan hadits tersebut di atas Kalbi meriwayatkan dari jalan Abu Shalih dari Ibnu Abbas. Imam al-Hakim berkata : “Ia meriwayatkan dari Abi Shalih hadits-hadits yang maudhu’ (palsu)”.  Kedua, Ali bin Ali Al Himyari adalah seorang rawi yang majhul (tidak dikenal).
Jadi, puasa pada hari Tarwiyah itu (8 Dzul Hijjah) adalah berdasarkan hadits yang dha’if/lemah. Mengamalkan hadits yang nyata-nyata lemah hukumnya bid’ah.
2. Takbir, Tahlil dan Tahmid
Pada bula Dzul Hijjah dianjurkan memperbanyak takbir, tahlil dan tahmid, berdasarkan hadits Ibnu Umar r.a,
مَا مِنْ أَيَّامٍ أَعْظَمُ عِنْدَ اللهِ سُبْحَانَهُ وَلاَ أَحَبُّ إِلَيْهِ الْعَمَل فِيْهِنَّ مِنْ هَذِهِ اْلأَيَّامِ الْعَشْرِ؛ فَأَكْثِرُوْا فِيْهِ مِنَ التَّهْلِيْلِ وَالتَّكْبِيْرِ وَالتَّحْمِيْدِ

“Tidak ada hari yang lebih agung dan lebih dicintai di sisi Allah subhanahu wa ta’ala jika amalan shalih dikerjakan di dalamnya daripada sepuluh hari ini, maka perbanyaklah tahlil, takbir, dan tahmid pada hari-hari tersebut.” (HR. Ahmad)
Takbir pada bulan Dzul Hijjah dimulai sejak tanggal 9 setelah shalat subuh sampai tanggal 13 setelah shalat Asar. Argumentasi pendukung amalan ini adalah hadits-hadits berikut ini :
Hadits Umar bin Khattab ra. ,
أَنَّهُ كَانَ يُكَبِّرُ مِنْ صَلَاةِ الْغَدَاةِ يَوْمِ عَرَفَةَ إِلَى صَلَاةِ الظُّهْرِ مِنْ آخِرِ أَيَّامِ التَّشْرِيْقِ .
“Bahwa beliau dulu bertakbir setelah shalat shubuh pada tanggal 9 Dzulhijjah sampai setelah dluhur pada tanggal 13 Dzulhijjah.” (HR. Ibn Abi Syaibah dan Al-Baihaqi)
Hadits Ali bin Abi Thalib ra.,
أَنَّهُ كَانَ يُكَبِّرُ مِنْ صَلَاةِ الْغَدَاةِ يَوْمِ عَرَفَةَ إِلَى صَلَاةِ الْعَصْرِ مِنْ آخِرِ أَيَّامِ التَّشْرِيْقِ, وَيُكَبِّرُ بَعْدَ الْعَصْرِ .
“Bahwa beliau bertakbir setelah shalat shubuh pada tanggal 9 Dzulhijjah sampai ashar tanggal 13 Dzulhijjah. Beliau juga bertakbir setelah ashar.” (HR. Ibn Abi Syaibah dan Al-Baihaqi)
Hadits Ibnu Abbas ra.,
أَنَّهُ كَانَ يُكَبِّرُ مِنْ صَلَاةِ الْفَجْرِ يَوْمِ عَرَفَةَ إِلَى آخِرِ أَيَّامِ التَّشْرِيْقِ, لاَيُكَبِّرُ فِى الْمَغْرِبِ .
“Bahwa beliau bertakbir setelah shalat shubuh pada tanggal 9 Dzulhijjah sampai tanggal 13 Dzulhijjah. Beliau tidak bertakbir setelah maghrib (malam tanggal 14 Dzluhijjah).” (HR. Ibn Abi Syaibah dan Al-Baihaqi)
Hadits  Ibnu Mas’ud ra.
أَنَّهُ كَانَ يُكَبِّرُ مِنْ صَلَاةِ الْصُّبْحِ يَوْمِ عَرَفَةَ إِلَى صَلَاةِ الْعَصْرِ مِنْ آخِرِ أَيَّامِ التَّشْرِيْقِ.
“Bahwa beliau bertakbir setelah shalat shubuh pada tanggal 9 Dzulhijjah sampai ashar tanggal 13 Dzulhijjah.” (HR. Al-Hakim)
Adapun lafazhlafazh takbirnya antara lain :

Pertama,

اَللهُ أَكْبَرُ.اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْراً .
Kedua,

اَللهُ أَكْبَرُ.اَللهُ أَكْبَرُ. لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ. وَاللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ

Ketiga,

اَللهُ أَكْبَرُ.اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرُ. لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ. وَاللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ
3. Shalat ‘Iedul Adha
Shalat ‘Iedul Adha adalah amalan sunnah muakkadah yang tidak boleh diabaikan.
Hadits-hadits yang berkaitan dengan shalat ‘Iedul Adha aantara lain :
· Diriwayatkan dari Abu Said, ia berkata : Adalah Nabi saw. pada hari raya idul fitri dan idul adha keluar ke mushalla (padang untuk salat), maka pertama yang beliau kerjakan adalah salat, kemudian setelah selesai beliau berdiri menghadap kepada manusia sedang manusia masih duduk tertib pada shaf mereka, lalu beliau memberi nasihat dan wasiat (khutbah) apabila beliau hendak mengutus tentara atau ingin memerintahkan sesuatu yang telah beliau putuskan,beliau perintahkan setelah selesai beliau pergi. (H.R : Al-Bukhari dan Muslim)
· Telah berkata Jaabir ra: Saya menyaksikan salat Id bersama Nabi saw. beliau memulai salat sebelum khutbah tanpa adzan dan tanpa iqamah, setelah selesai beliau berdiri bertekan atas Bilal, lalu memerintahkan manusia supaya bertaqwa kepada Allah, mendorong mereka untuk taat, menasihati manusia dan memperingatkan mereka, setelah selesai beliau turun mendatangai shaf wanita dan selanjutnya beliau memperingatkan mereka. (H.R : Muslim)
· Diriwayatkan dari Ummu 'Atiyah ra. ia berkata : Rasulullah saw. memerintahkan kami keluar pada 'idul fitri dan 'idul adha semua gadis-gadis, wanita-wanita yang haid, wanita-wanita yang tinggal dalam kamarnya. Adapun wanita yang sedang haid mengasingkan diri dari mushalla tempat salat Id, mereka menyaksikan kebaikan dan mendengarkan da'wah kaum muslimin (mendengarkan khutbah). Saya berkata : Yaa Rasulullah bagaimana dengan kami yang tidak mempunyai jilbab? Beliau bersabda : Supaya saudaranya meminjamkan kepadanya dari jilbabnya. (H.R : Jama'ah)
· Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra. ia berkata : Adalah Nabi saw. Tidak berangkat menuju mushalla kecuali beliau memakan beberapa biji kurma, dan beliau memakannya dalam jumlah bilangan ganjil. (H.R : Al-Bukhari dan Muslim)
· Diriwayatkan dari Zaid bin Arqom ra. ia berkata : Nabi saw. Mendirikan salat Id, kemudian beliau memberikan ruhkshah / kemudahan dalam menunaikan salat Jumat, kemudian beliau bersabda : Barang siapa yang mau salat jumat, maka kerjakanlah. (H.R : Imam yang lima kecuali At-Tirmidzi)
· Diriwayatkan dari Amru bin Syu'aib, dari ayahnya, dari neneknya, ia berkata : Sesungguhnya Nabi saw. bertakbir pada salat Id dua belas kali takbir. dalam raka'at pertama tujuh kali takbir dan pada raka'at yang kedua lima kali takbir dan tidak salat sunnah sebelumnya dan juga sesudahnya. (H.R : Amad dan Ibnu Majah)
‘Idul Adha adalah hari besar Umat Islam setelah ‘Idul Fithi, sebagaimana diriwayatkan dari Anas bin Malik ra. ia mengatakan:
قَدِمَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَّلَمَ الْمَدِيْنَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَللأعَبُوْنَ فِيْهِمَا فَقَالَ مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ . قَالُوْا كُنَّا نَلْعَبُ فِيْهِمَا فِى الْجَاهِلِيَّةِ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَّلَمَ إِنَّ اللهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خيَرْاً مِنْهُمَا يَوْمَ الَأَضَحى وَيَوْمَ الَفِطْرِ .
“Bahwa ketika Nabi saw tiba di Madinah, masyarakat Madinah memiliki dua hari yang mereka rayakan dengan bermain. Maka Nabi saw bertanya, “Dua hari apakah ini?” mereka menjawab, “Kami merayakannya dengan bermain di dua hari ini ketika zaman jahiliyah.” Kemudian Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah telah memberikan ganti kepada kalian dengan dua hari yang lebih baik: idul fitri dan idul adha.” (HR. An-Nasa’i, Abu Dawud, dan Ahmad)
4. Berqurban
Sangat  dianjurkan menyembelh qurban pada hari raya Adha berdasarkan nash-nash berikut ini :
Firman Allah Ta’ala,
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَر
Maka dirikanlah shalat karena Rabb-mu; dan berkorbanlah.” (QS. al-Kautsar [108]:1-3)
Rasulullah saw bersabda,
مَا عَمِلَ ابْنُ آدَمَ يَوْمَ النَّحْرِ عَمَلاً أَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنْ إِراقَةِ دَمٍ وَإِنَّهَا لَتَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُوْنِهَا وَأَظْلاَفِهَا وَأَشْعَارِهَا وَإِنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ عَلَى اْلأَرْضِ فَطَيِّبُوْا بِهَا نَفْسًا
"Tidak ada amal yang dikerjakan oleh anak Adam pada Hari Raya Qurban yang lebih aku sukai selain dari menumpahkan darah (berqurban). Sungguh hewan qurban yang dijadikan qurban itu pada hari kiamat nanti akan datang dengan tanduk-tanduk, kuku-kuku, dan bulu-bulunya. Sungguh darah hewan qurban itu sudah ditempatkan di suatu tempat oleh Allah 'Azza wa Jalla sebelum jatuh di atas tanah (dan akan menjadi minyak wangi), sehingga badan mereka (yang berqurban) akan semerbak wanginya." (HR.al-Hakim, Ibnu Majah, dan at-Tirmizi).
Dari Abu Hurairah ra., Nabi saw bersabda:
مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا .
“Siapa yang memililki kelapangan namun dia tidak berqurban maka jangan mendekat ke masjid kami.” (HR. Ahmad dan Ibn Majah)
Bagi orang yang hendak berqurban disunahkan tidak memotong rambut dan kukunya sampai qurbannya itu disembelih, berdasarkan hadits dari Ummu Salamah bahwa Rasulullah saw. bersabda,
مَن كانَ لَهُ ذَبحٌ يَذبَـحُهُ فَإِذَا أَهَلَّ هِلاَلُ ذِى الْحِجَّةِ فَلاَ يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلاَ مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّىَ .
“Barangsiapa yang memiliki hewan yang hendak dia sembelih (di hari raya), jika sudah masuk tanggal 1 Dzulhijjah maka janganlah dia memotong rambutnya dan kukunya sedikitpun, sampai dia menyembelih qurbannya.” (HR. Muslim dan Abu Dawud)
Hikmah dari sunnah ini adalah demi kesempurnaan ibadah qurban di sisi Allah swt (Aunul Ma’bud vo. VII:493).
Semoga kita termasuk orang-orang yang memakmurkan bulan Dzul Hijjah dengan amal-amal shaleh. Amin.
-----oOo-----

Tidak ada komentar:

Posting Komentar